Welcome to Marlon Brando's Blog

Welcome to My Lovely Blog which created by Marlon Brando. Enjoy the new update information here and staring at colourfull background. I will be enjoying to bring something up of the new topics here and enjoy the solidarity and togetherness on the comments. I'm gonna share new information update that you need, my importants events on Youth Pardede in Blessing Community and this lovely blog is specially dedicated to anyone who knows me so well. So, get ready to read this blog that is totally 'Marlon'! Be ready to get to know me better, and when you read all my writings, be ready to be Brando. It's me MARLON BRANDO.

Nikmati juga hidangan-hidangan khusus dan menjanjikan seputar informasi dunia edukasi, advertensi, software, musik, film, politik, entertainment, computing, religion, tragedy, healthy life, informasi teknologi, fenomena, internet, business, mathematics dan hal menarik lainnya. I will be pleased to share new information and absorbed in keeping update online on this blog. You may also share online and give comments.


Add me on FACEBOOK, TWITTER, PLURK, YAHOO! KOPROL and WINDOWS LIVE

Marlon Brando Images on Love Driven LIFE Blessing Community

Senin, 04 Maret 2013

Review: Life of Pi (2012)



Sebelum akhirnya film ini diarahkan oleh Ang Lee dengan naskah cerita yang diadaptasi oleh David Magee (Miss Pettigrew Lives for a Day, 2008) dari novel berjudul sama karya penulis asal Kanada, Yann Martel, Life of Pi telah melalui begitu banyak proses pengembangan semenjak hak adaptasi novel tersebut dibeli oleh Fox 2000 Pictures pada tahun 2003. Tercatat, nama-nama sutradara seperti M. Night Shyamalan, Alfonso Cuarón hingga Jean-Pierre Jeunet pernah dihubungkan dengan proyek pembuatan film ini sebelum akhirnya mengundurkan diri akibat sulitnya untuk menggambarkan perjalanan spiritual yang dialami sang karakter utama dalam jalan cerita Life of Pi. Baru pada tahun 2009-lah, Ang Lee akhirnya mengambil alih proses pembuatan Life of Pi, dan – meskipun proses produksi sempat tertunda pada tahun 2010 akibat bujet pembuatan yang dinilai terlalu tinggi – akhirnya benar-benar memulai proses produksi Life of Pi pada awal tahun 2011.
Life of Pi berkisah mengenai seorang anak pemilik kebun binatang bernama Piscine Molitor Patel atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Pi (Suraj Sharma) yang berasal dari India. Atas tuntutan ekonomi, keluarganya lalu memutuskan untuk melakukan migrasi ke Kanada dengan membawa seluruh hewan yang ada di kebun binatang mereka untuk kemudian dijual disana. Sayang, perjalanan yang dilakukan Pi dan keluarganya dengan menggunakan sebuah kapal barang asal Jepang berakhir tragis setelah kapal tersebut tenggelam dihantam badai dan kemudian hanya menyisakan Pi bersama dengan seekor hiena, orang utan, zebra serta seekor harimau Benggala bernama Richard Parker yang menyelamatkan diri mereka dengan menggunakan sebuah perahu penyelamat. Pi pun akhirnya memulai perjalanannya selama 227 hari terapung di lautan luas dan berusaha mempertahankan hidupnya dari bahaya yang selalu mengintainya setiap saat.
Pertama-tama… mari memberi pujian yang sedalam-dalamnya bagi trio sutradara Ang Lee, sinematografer Claudio Miranda dan penata musik Mychael Danna yang berhasil menyatukan visi mereka tentang arti sebuah perjalanan spiritual dan kemudian menterjemahkannya melalui penampilan audio visual yang sangat, sangat, sangat indah. Ingat bagaimana James Cameron mampu mengisi kekosongan jalan cerita Avatar (2009) dengan memanfaatkan teknologi 3D secara efektif? Lee juga melakukan hal yang sama dengan Life of Pi – terlepas dari fakta bahwa film ini memiliki struktur cerita yang lebih kompleks daripada Avatar. Bahkan, pada kebanyakan bagian ceritanya, Lee mampu mengeksplorasi kekuatan performa teknologi 3D tersebut lebih baik daripada Cameron.
Tidak seperti kebanyakan pemanfaatan teknologi 3D yang banyak dihadirkan oleh film-film Hollywood belakangan, Lee memanfaatkan teknologi visual tersebut bukan untuk mengundang penonton agar dapat lebih merasakan pengalaman fisik mengenai bagaimana terlibat dalam jalan cerita yang ia hantarkan. Teknologi 3D dalam Life of Pi justru digunakan sebagai jembatan bagi penonton untuk mampu merasakan kekuatan emosional yang ada di dalam jalan cerita Life of Pi yang kemudian membawa penonton turut larut ke dalam perjalanan spiritual yang dialami oleh sang karakter utama. Life of Pi adalah sebuah contoh lain bagaimana tampilan keindahan visual sebuah film dapat memiliki kekuatan yang begitu dahsyat dalam membuai emosi penontonnya.
Yang membawa kita pada kasus berikutnya… bagaimana jalan cerita Life of Pi jika dihadirkan tanpa segala kemewahan tampilan visualnya? Tidak buruk, sebenarnya, namun jelas tidak akan memiliki kekuatan yang sama untuk membuat penontonnya bertahan mengikuti 127 menit durasi film ini. Life of Pi dibuka dengan perkenalan mengenai siapa sosok karakter Pi dan keluarganya, yang dilanjutkan dengan kisah kehidupannya semasa sekolah, awal ketertarikannya dengan berbagai kepercayaan relijius, kisah asmaranya – yang sebenarnya sama sekali tidak memiliki esensi penting untuk dihadirkan hingga akhirnya perjalanan terakhir yang dilakukan karakter Pi bersama keluarganya. Bagian awal pengisahan Life of Pi secara gamblang membutuhkan teknik penceritaan yang handal – dan Lee mampu melakukannya dengan baik. Namun cerita sesudahnya, kisah dimana karakter Pi digambarkan berjuang untuk kehidupannya di atas lautan samudera, Life of Pi secara perlahan mulai terbentuk menjadi sebuah susunan gambar indah yang mempesona yang kadang hadir tanpa kemampuan penceritaan apapun selain untuk menarik (baca: mempertahankan) perhatian penontonnya.
Tentu… pada beberapa saat gambar-gambar indah itu terasa begitu mengikat perhatian. Namun, pada banyak bagian berikutnya, perjuangan hidup karakter Pi di atas lautan luas terasa bagai sebuah kisah yang tak ada ujung dan cenderung bergerak datar sebelum akhirnya Lee memutuskan untuk mengakhiri perjalanan karakter utama ceritanya. Layaknya sebuah perjalanan panjang menembus sebuah wilayah yang dipenuhi dengan pepohonan rindang yang menyejukkan mata, penonton akan terbuai dengan kesejukan dan keindahan pemandangan yang dihadirkan – serta kemungkinan besar mengalami pengalaman spiritual dan mensyukuri atas nikmat keindahan tersebut. Pun begitu, ketika perjalanan mulai terasa berjalan monoton serta tanpa kegiatan yang menarik, pepohonan rindang yang menyejukkan tadi mulai terasa menjemukan dan kurang berarti. Penggambaran Lee terhadap perjalanan karakter Pi di atas lautan kurang lebih sama dengan ilustrasi tersebut.
Bagian yang paling menarik dari Life of Pi, selain penampilan visualnya yang begitu eksotis, adalah pemilihan ending kisah yang menawarkan kesempatan pada penonton film ini untuk semacam memilih kisah yang ingin mereka percayai. Review ini tidak akan membahas lebih lanjut mengenai apa kisah yang terdapat dalam ending Life of Pi, namun kisah tersebut jelas akan membuka begitu banyak interpretasi penonton mengenai jalan kehidupan seorang karakter Pi: apakah ia berusaha menyembunyikan segala teror dan kenangan buruk kehidupan yang ia miliki dengan sebuah bagian kehidupan yang dapat ia sebut sebagai petualangan atau penonton dapat menerima berbagai fakta pahit serta mengerikan yang dialami oleh karakter Pi dan menerimanya sebagai sebuah realita kehidupan. Sebuah ending yang begitu kuat – walaupun kehadiran penceritaan pilihan tersebut membuat klimaks cerita yang tadinya telah menguat kembali mengendur dan cenderung melemah.
Berbicara mengenai Tuhan, perjalanan spiritual dan arti dari sebuah kehidupan, Life of Pi jelas adalah sebuah film yang tidak akan mudah ditaklukkan oleh sembarang sutradara. Berbekal kerjasama yang solid dengan tim produksinya, khususnya dengan sinematografer Claudio Miranda dan penata musik Mychael Danna, Ang Lee mampu menjawab tantangan tersebut dengan cukup baik. Beberapa bagian naskah cerita yang ditulis oleh David Magee sebenarnya dapat saja mengalami perampingan untuk mencegah alur cerita menjadi terkesan terlalu bertele-tele. Namun, kelemahan tersebut sepertinya telah begitu tertutupi dengan penampilan visual Life of Pi yang spektakuler. Jelas salah satu film dengan kualitas paling istimewa di sepanjang tahun ini.

Review: Silver Linings Playbook (2012)


silver-linings-playbook-header
Selepas keberhasilannya dalam mengarahkan The Fighter (2010) – yang berhasil meraih sukses komersial dengan total pendapatan lebih dari US$129 juta dari masa perilisannya di seluruh dunia sekaligus mendapatkan pujian luas dari banyak kritikus film dunia dan meraih 6 nominasi di ajang The 83rd Annual Academy Awards, termasuk untuk kategori Best Director – David O. Russell kembali hadir dengan film terbarunya, Silver Linings Playbook. Diadaptasi oleh Russell dari sebuah novel karya Matthew Quick yang berjudul sama, filmnya sendiri berkisah mengenai pertemuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama memiliki ketidakstabilan emosional… dan awalnya terlihat saling tidak menyukai satu sama lain… dan kemudian berusaha saling membantu kekurangan diri masing-masing… and finallyyou guessed it! Keduanya terlibat dalam hubungan asmara. Yep. Silver Linings Playbook is indeed a romantic comedy. Tapi apakah Russell mampu menggarap Silver Linings Playbook menjadi sebuah komedi romantis yang lebih dari sekedar… well… komedi romantis?
Silver Linings Playbook berkisah mengenai kehidupan Pat Solitano (Bradley Cooper). Ia baru saja dijemput ibunya, Dolores (Jacki Weaver), untuk pulang dari sebuah institusi kesehatan mental setelah menghabiskan masa delapan bulan tinggal di lokasi tersebut sebagai hukuman dari pihak berwajib akibat tindakan kekerasan yang ia lakukan pada seorang pria yang tertangkap basah sedang berselingkuh dengan istrinya, Nikki (Brea Bee). Delapan bulan berada di sebuah institusi kesehatan mental ternyata memberikan waktu bagi Pat untuk memikirkan seluruh kesalahan dan masa lalunya. Kini, ia berjanji untuk mulai menata kembali hidupnya, melihat kehidupan dari sisi yang positif serta berusaha untuk tampil dengan fisik yang bugar agar ia dapat kembali merebut cinta dari istrinya.
Walau masih khawatir dengan kondisi emosionalnya yang masih sering berubah-ubah dengan begitu cepat, ayah, Patrizio (Robert De Niro), dan ibunya berusaha sebisa mungkin untuk memberikan dukungan yang kuat pada Pat. Begitu pula dengan sahabatnya, Ronnie (John Ortiz), yang kemudian mengundang Pat untuk datang ke rumahnya dan makan malam bersama dengan istrinya, Veronica (Julia Stiles). Ketika acara makan malam itulah, Pat bertemu dengan adik Veronica, Tiffany (Jennifer Lawrence), yang ternyata juga memiliki masalah dengan kestabilan emosinya akibat kematian sang suami. Awal pertemuan itulah yang kemudian menjadi titik balik bagi kehidupan Pat. Bersama dengan Tiffany, Pat lalu saling mendukung satu sama lain walaupun seringkali keduanya justru terlibat dengan banyak masalah akibat ketidakstabilan emosi mereka.
Dengan deretan talenta yang berada di depan dan balik layar pembuatan film ini, tentu banyak orang akan mengharapkan bahwa Silver Linings Playbook akan mampu menjelma lebih dari sekedar sebuah drama komedi romantis. Well… sayangnya… hal tersebut tidak terjadi. Bukan berarti bahwa film ini berjalan dengan begitu buruk. Namun jalan cerita Silver Linings Playbook benar-benar tidak mampu memberikan sesuatu hal yang baru dalam presentasinya: baik mengenai penggalian hubungan antara satu karakter wanita dan satu karakter pria, konflik-konflik yang berada di sekitarnya, konflik yang terjadi di antara keduanya hingga deretan hal yang akhirnya memperbaiki diri mereka masing-masing, baik sebagai individu maupun sebagai pasangan.
Kelemahan Silver Linings Playbook sendiri bukanlah muncul akibat kefamiliaran arus cerita yang dibawakannya. Film ini cenderung gagal untuk menarik ikatan emosional yang lebih mendalam dari penontonnya akibat tindakan David O. Russell yang terlalu banyak meletakkan permasalahan di dalam jalan cerita dan akhirnya justru kemudian gagal mendapatkan pengembangan dengan baik. Hal yang sama juga berlaku pada karakter-karakter yang hadir dalam film ini. Kecuali karakter Tiffany, seluruh karakter yang ada di dalam jalan cerita Silver Linings Playbook terlihat berada di wilayah abu-abu dan membuat kehadiran mereka terasa begitu monoton. Kemunculan karakter Tiffany di dalam jalan cerita-lah yang kemudian secara perlahan meningkatkan warna penceritaan Silver Linings Playbook dan terus hadir dalam kondisi yang sama – dan sangat terasa jika karakter tersebut hilang dari dalam jalan cerita – hingga berakhirnya durasi penceritaan film ini.
Satu hal yang pasti, terlepas dari kekurangan yang muncul dari sisi penulisan naskah dan karakter, Russell beruntung memiliki deretan pengisi departemen akting yang sangat, sangat kuat. Bradley Cooper dan Jennifer Lawrence berhasil menampilkan penampilan akting terbaik di sepanjang karir mereka untuk film ini. Cooper jelas terlihat begitu lepas dalam menjiwai karakter Pat Solitano yang memiliki ketidakstabilan emosional namun tetap berusaha untuk memandang positif segala hal yang berada di sekitarnya. Sebaliknya, walaupun memiliki karakterisasi lebih gelap, Lawrence mampu membuat karakter Tiffany menjadi begitu meledak-ledak dengan cara yang akan berhasil meluluhkan hati banyak orang. Bersama, keduanya mampu menciptkan chemistry yang begitu erat dan meyakinkan. Deretan adegan yang menampilkan karakter Pat dan Tiffany menari bersama jelas adalah deretan adegan paling romantis sekaligus menghibur yang ada di film ini.
Cooper dan Lawrence mendapatkan dukungan yang solid dari penampilan jajaran pemeran pendukung film ini. Robert De Niro – yang menampilkan penampilan terbaiknya dalam beberapa tahun terakhir – dan Jacki Weaver berhasil hadir sebagai karakter pasangan orangtua yang memiliki cara yang aneh dalam menghadapi permasalahan anaknya. Begitu juga Chris Tucker yang mampu hadir kuat ketika berperan sebagai sahabat dari karakter Pat. Silver Linings Playbook juga tampil memuaskan dari segi kualitas tata produksi, khususnya tata musik yang dihasilkan Danny Elfman. Mengikuti pola penulisan dialog yang witty, Elfman mampu menghadirkan deretan musik pengiring yang terdengar begitu jenaka namun berhasil mengisi setiap ruang kosong yang terdapat di sela-sela penceritaan film ini.
Meskipun kelemahan pada penggalian permasalahan dan deretan karakter yang coba dihadirkan David O. Russell pada film ini membuat Silver Linings Playbook gagal untuk mengikat penontonnya secara emosional dengan lebih kuat, namun Russell tetap mampu membawakan ritme penceritaan film ini dengan baik. Dan tentu saja, dialog-dialog cerdas nan menghibur yang dihadirkan Silver Linings Playbook di sepanjang penceritaannya jelas juga merupakan sebuah poin keunggulan tersendiri. Namun kekuatan utama film ini berada pada solidnya penampilan dari jajaran departemen aktingnya. Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert De Niro, Jacki Weaver dan Chris Tucker berhasil menghadirkan kekuatan akting yang begitu mempesona. Apakah Silver Linings Playbook adalah sebuah jalan cerita komedi romantis yang begitu familiar? Benar. Klise? Sama sekali tidak. Silver Linings Playbook masih akan mampu memberikan momen-momen menyenangkan pada penontonnya di sepanjang penceritaannya meskipun tidak akan mampu untuk memberikan kesan yang lebih mendalam lagi.

The 85th Annual Academy Awards Winners List


85th-annual-postersWell… the year’s awards season is finally over. Argo yang sebelumnya mendapatkan tujuh nominasi Academy Awards, meskipun gagal untuk mendapatkan nominasi Best Director untuk Ben Affleck, berhasil keluar sebagai pemenang utama dan memenangkan Best Picture – yang diproduseri oleh Affleck, Grant Heslov dan George Clooney. Argo juga berhasil memenangkan penghargaan Best Writing – Adapted Screenplay untuk Chris Terrio dan Best Film Editing untuk William Goldenberg. Namun, adalah Life of Pi yang pada tahun ini keluar sebagai pemenang penghargaan terbanyak. Film arahan Ang Lee tersebut berhasil memenangkan empat Academy Awards termasuk memenangkan Best Director untuk Lee.
Tidak banyak kejutan yang terjadi ketika banyak nama yang telah diprediksikan akan memenangkan penghargaan berhasil muncul sebagai pemenang: Daniel Day-Lewis memenangkan Best Actor in a Leading Role untuk perannya di Lincoln, Jennifer Lawrence memenangkan Best Actress in a Leading Role untuk perannya di Silver Linings Playbook, Christoph Waltz memenangkan Best Actor in a Supporting Role untuk perannya di Django Unchained dan Anne Hathaway memenangkan Best Actress in a Supporting Role untuk perannya di Les Misérables. Selain Argo dan Life of Pi yang memenangkan beberapa penghargaan, Skyfall, Django Unchained, Les Misérables dan Lincoln juga berhasil memenangkan lebih dari satu penghargaan di The 85th Annual Academy Awards.
Berikut daftar lengkap pemenang The 85th Annual Academy Awards:
Best Picture
Argo – Grant Heslov, Ben Affleck, and George Clooney
  • Amour – Margaret Menegoz, Stefan Arndt, Veit Heiduschka, and Michael Katz
  • Beasts of the Southern Wild – Dan Janvey, Josh Penn, and Michael Gottwald
  • Django Unchained – Stacey Sher, Reginald Hudlin, and Pilar Savone
  • Les Misérables – Tim Bevan, Eric Fellner, Debra Hayward, and Cameron Mackintosh
  • Life of Pi – Gil Netter, Ang Lee, and David Womark
  • Lincoln – Steven Spielberg and Kathleen Kennedy
  • Silver Linings Playbook – Donna Gigliotti, Bruce Cohen, and Jonathan Gordon
  • Zero Dark Thirty – Mark Boal, Kathryn Bigelow, and Megan Ellison
Best Director
Ang Lee – Life of Pi
  • Michael Haneke – Amour
  • David O. Russell – Silver Linings Playbook
  • Steven Spielberg – Lincoln
  • Benh Zeitlin – Beasts of the Southern Wild
Best Actor
Daniel Day-Lewis – Lincoln
  • Bradley Cooper – Silver Linings Playbook
  • Hugh Jackman – Les Misérables
  • Joaquin Phoenix – The Master
  • Denzel Washington – Flight
Best Actress
Jennifer Lawrence – Silver Linings Playbook
  • Jessica Chastain – Zero Dark Thirty
  • Emmanuelle Riva – Amour
  • Quvenzhané Wallis – Beasts of the Southern Wild
  • Naomi Watts – The Impossible
Best Supporting Actor
Christoph Waltz – Django Unchained
  • Alan Arkin – Argo
  • Robert De Niro – Silver Linings Playbook
  • Philip Seymour Hoffman – The Master
  • Tommy Lee Jones – Lincoln
Best Supporting Actress
Anne Hathaway – Les Misérables
  • Amy Adams – The Master
  • Sally Field – Lincoln
  • Helen Hunt – The Sessions
  • Jacki Weaver – Silver Linings Playbook
Best Writing – Original Screenplay
Django Unchained – Quentin Tarantino
  • Amour – Michael Haneke
  • Flight – John Gatins
  • Moonrise Kingdom – Wes Anderson and Roman Coppola
  • Zero Dark Thirty – Mark Boal
Best Writing – Adapted Screenplay
Argo – Chris Terrio
  • Beasts of the Southern Wild – Lucy Alibar and Benh Zeitlin
  • Life of Pi – David Magee
  • Lincoln – Tony Kushner
  • Silver Linings Playbook – David O. Russell
Best Animated Feature
  • Frankenweenie
  • ParaNorman
  • The Pirates! Band of Misfits
  • Wreck-It Ralph
Best Foreign Language Film
Amour
  • Kon-Tiki
  • No
  • A Royal Affair
  • War Witch
Best Documentary – Feature
Searching for Sugar Man
  • 5 Broken Cameras
  • The Gatekeepers
  • How to Survive a Plague
  • The Invisible War
Best Documentary – Short Subject
Inocente
  • Kings Point
  • Open Heart
  • Redemption
  • Mondays at Racine
Best Live Action Short Film
Curfew
  • Asad
  • Buzkashi Boys
  • Death of a Shadow (Dood Van Een Schaduw)
  • Henry
Best Animated Short Film
Paperman
  • Adam and Dog
  • Fresh Guacamole
  • Head over Heels
  • The Longest Daycare
Best Original Score
Life of Pi – Mychael Danna
  • Anna Karenina – Dario Marianelli
  • Argo – Alexandre Desplat
  • Lincoln – John Williams
  • Skyfall – Thomas Newman
Best Original Song
“Skyfall” from Skyfall – Adele Adkins and Paul Epworth
  • “Before My Time” from Chasing Ice – J. Ralph
  • “Everybody Needs a Best Friend” from Ted – Walter Murphy and Seth MacFarlane
  • “Pi’s Lullaby” from Life of Pi – Mychael Danna and Bombay Jayashri
  • “Suddenly” from Les Misérables – Claude-Michel Schönberg, Herbert Kretzmer and Alain Boublil
Best Sound Editing
Skyfall – Per Hallberg and Karen Baker Landers and Zero Dark Thirty – Paul N. J. Ottosson
  • Argo – Erik Aadahl and Ethan Van der Ryn
  • Django Unchained – Wylie Stateman
  • Life of Pi – Eugene Gearty and Philip Stockton
Best Sound Mixing
Les Misérables – Andy Nelson, Mark Paterson and Simon Hayes
  • Argo – John Reitz, Gregg Rudloff and Jose Antonio Garcia
  • Life of Pi – Ron Bartlett, D. M. Hemphill and Drew Kunin
  • Lincoln – Andy Nelson, Gary Rydstrom and Ronald Judkins
  • Skyfall – Scott Millan, Greg P. Russell and Stuart Wilson
Best Production Design
Lincoln – Rick Carter & Jim Erickson
  • Anna Karenina – Sarah Greenwood & Katie Spencer
  • The Hobbit: An Unexpected Journey – Dan Hennah, Ra Vincent and Simon Bright
  • Les Misérables - Eve Stewart & Anna Lynch-Robinson
  • Life of Pi – David Gropman & Anna Pinnock
Best Cinematography
Life of Pi – Claudio Miranda
  • Anna Karenina – Seamus McGarvey
  • Django Unchained – Robert Richardson
  • Lincoln – Janusz Kaminski
  • Skyfall – Roger Deakins
Best Makeup and Hairstyling
Les Misérables
  • Hitchcock
  • The Hobbit: An Unexpected Journey
Best Costume Design
Anna Karenina – Jacqueline Durran
  • Les Misérables – Paco Delgado
  • Lincoln – Joanna Johnston
  • Mirror Mirror – Eiko Ishioka
  • Snow White and the Huntsman – Colleen Atwood
Best Film Editing
Argo – William Goldenberg
  • Life of Pi – Tim Squyres
  • Lincoln – Michael Kahn
  • Silver Linings Playbook – Jay Cassidy and Crispin Struthers
  • Zero Dark Thirty – Dylan Tichenor and William Goldenberg
Best Visual Effects
Life of Pi – Bill Westenhofer, Guillaume Rocheron, Erik-Jan De Boer and Donald R. Elliott
  • The Hobbit: An Unexpected Journey – Joe Letteri, Eric Saindon, David Clayton and R. Christopher White
  • Marvel’s The Avengers – Janek Sirrs, Jeff White, Guy Williams and Dan Sudick
  • Prometheus – Richard Stammers, Trevor Wood, Charley Henley and Martin Hill
  • Snow White and the Huntsman – Cedric Nicolas-Troyan, Philip Brennan, Neil Corbould and Michael Dawson

Review: Warm Bodies (2013)


warm_bodies_header
Setelah petualangan The Twilight Saga (2008 – 2012) resmi berakhir – yang diiringi dengan keriuhan nafas lega dari banyak orang – Hollywood sepertinya masih mencoba untuk mencari ladang uang pengganti dari franchise yang telah menghasilkan pendapatan lebih dari US$3 milyar dari seluruh dunia selama masa perilisannya tersebut. WellWarm Bodies mungkin akan menjadi salah satu kontender tepat untuk menggantikan posisi The Twilight Saga. Tidak hanya memiliki formula yang hampir serupa – namun mengganti posisi vampir dengan zombie, Warm Bodies juga memulai perjalanannya dengan sentuhan tepat dari Jonathan Levine (50/50, 2011) yang mampu memberikan film ini kehangatan kisah percintaan komedi romantis klasik namun tetap mampu tampil cerdas sehingga akan berhasil dinikmati oleh penonton dalam jangkauan yang lebih luas.
Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Isaac Marion, Warm Bodies berlatar belakang waktu di masa depan dimana Bumi telah dikuasai oleh para zombie dan manusia kini telah tersingkir ke daerah pinggiran namun tetap terus berjuang untuk mengembalikan kondisi Bumi seperti dahulu kala. Fokus cerita film ini sendiri berada pada salah satu karakter zombie, R (Nicholas Hoult). Ia hanya memiliki huruf R sebagai identitasnya karena dirinya sama sekali tidak mengingat namanya terdahulu semasa ia masih hidup. Kisah film ini kemudian akan disajikan melalui suara yang berada di jalan pemikiran R – mengingat, tidak seperti para vampir, zombie tidak memiliki kemampuan untuk memancarkan sinar dari tubuhnya ketika terkena cahaya. Dan juga sama sekali tidak dapat berbicara satu sama lain.
Anyway… R adalah sosok zombie yang merasa bahwa dirinya tidak berada dalam komunitas yang sesuai dengan dirinya. Berbeda dengan para zombie lainnya, R memiliki rasa keingintahuan yang luas mengenai dunia serta hasrat untuk menjadi lebih hidup dalam kesehariannya. Dan ketika takdir mempertemukan dirinya dengan seorang gadis (manusia) cantik bernama Julie (Teresa Palmer – the Kristen Stewart of this movie, by the way)… kehidupan R mulai berubah secara seketika. Walau awalnya, layaknya para manusia lain, Julie memiliki rasa takut terhadap R, namun secara perlahan Julie mampu merasa bahwa R berbeda dengan para zombie lainnya. Hubungan natara keduanya mulai menghangat… yang kemudian memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komposisi hubungan antara manusia dengan para zombie.
Sama seperti yang ia tunjukkan dalam 50/50, Jonathan Levine kembali berhasil menampilkan kemampuannya dalam menggarap deretan dialog yang begitu menggigit dan sangat, sangat menghibur di sepanjang penceritaan Warm Bodies. Dialog-dialog witty inilah yang menjadi senjata terkuat bagi film ini dalam meluluhkan hati setiap penontonnya. Tak lupa, Levine juga berhasil menggarap dua karakter utama film ini menjadi dua karakter yang sangat mudah untuk disukai dengan memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan sisi penceritaan personalnya masing-masing namun sama sekali tidak pernah terlihat mengubur eksistensi karakter lainnya.
Kisah cinta yang ditawarkan dalam Warm Bodies jelas bukanlah sebuah presentasi yang sama sekali baru. Namun, formula familiar yang dibawakan oleh film ini secara cerdas berhasil dikelola oleh Levine melalui deretan dialog yang witty, karakter-karakter yang begitu mudah untuk disukai serta… kemampuan Levine untuk mengumpulkan deretan lagu-lagu pengiring yang benar-benar mampu mengangkat setiap sisi emosional maupun menyerap sisi penceritaan secara sempurna. Secara bergantian, Levine menghadirkan lagu-lagu dari Bob Dylan, Bruce Springsteen hingga Guns ‘N Roses yang kadangkala berguna untuk menggantikan posisi dialog antara para karakternya. Pun begitu, pada beberapa bagian, terlalu banyaknya penggunaan lagu untuk mengisi setiap adegan di film ini kadang membuat Levine menjadi terlihat kurang percaya diri dengan naskah cerita yang telah ia hasilkan.
Dari departemen akting, Nicholas Hoult jelas tampil begitu memikat sebagai sang karakter utama, R. Tidak dipungkiri, dialog-dialog witty yang diberikan kebanyakan pada dialog yang ia perankan mungkin telah berhasil membuat pekerjaan Hoult untuk memerankan R menjadi lebih ringan. Namun, jelas juga tidak dapat disangkal bahwa kemampuan Hoult untuk berperan sebagai seorang zombie juga sangat mengesankan. Chemistry antara dirinya dengan Teresa Palmer juga mampu tampil meyakinkan. Para aktor pendukung lainnya juga mampu tampil solid, khususnya Rob Corddry yang sepertinya selalu berhasil mencuri perhatian setiap karakternya berada dalam penceritaan film.
Tidak seperti kebanyakan seri dalam franchise The Twilight Saga yang terlihat terlalu berusaha keras untuk tampil romantis, Warm Bodies justru memanfaatkan ide konyol mengenai percintaan antara manusia dengan seorang zombie secara ringan dan jauh dari kesan serius. Keberhasilan Jonathan Levine untuk mengelola kisah tersebut menjadi sebuah jalan penceritaan romansa yang hangat – termasuk dengan menghadirkan referensi sastra karya William Shakespeare, Romeo and Juliet, di beberapa bagian kisahnya, serta deretan lagu-lagu pengiring yang begitu mampu mewakili banyak plot cerita film juga menjadi faktor esensial mengapa daya tarik Warm Bodies menjadi begitu sukar untuk ditolak. Ringan namun begitu hangat dalam bercerita, Warm Bodies jelas telah menjadi langkah awal yang tepat jika Hollywood ingin mengembangkan film ini menjadi sebuah franchise.

Selasa, 09 Oktober 2012

The Amazing Spiderman


The Plot
Peter Parker (Andrew Garfield) awalnya hanya bocah high shool biasa. Gigitan laba-laba hasil rekayasa genetik merubahnya menjadi manusia super.

The Comment
 
The Amazing Spiderman (2012) menjadi turning point kembalinya movietard menginjakkan kaki ke bioksop untuk benar-benar menonton film. Okay, that’s sound lebay, tetapi jujur, hampir sebulan penuh Movietard tidak menonton film di bioskop, dan hey, kalaupun ke bioskop, yang ditonton selama bulan Juni-Juli kemarin hanyalah gelaran pesta bola Eropa. So, alih-alih menonton Abraham Lincoln: The Vampire Hunter, Brave, Lewat Djam Malam ataupun Madagascar 3, Movietard justru asyik menikmati perempat final dan semi final Euro 2012 di bioskop kesayangan. Belum lagi, kedatangan salah satu punggawa Spain NT ke Indonesia, Xabi Alonso, membuat movietard tak kalah sibuk mengejar si bintang ini selama 3 hari 3 malam pada awal Juli lalu (okay, that’s sound toooo…. lebay, but it happened for real! I stalked Xabi for 3 days). But then, after the Euro party was over, I’m glad to back at my ordinary life and it means… time to watch movies again, and The Amazing Spiderman became the first one!



The Amazing Spiderman menjadi film superheroes kedua setelah The Avengers (2012) yang di lempar di musim panas ini.  Film ini  menanggung beban berat karena selain si superheroes harus berdiri sendiri tanpa teman-teman berkekuatan super lainnya, pertanyaan mendasar, mampukah film re-boot ini menyamai prestasi Spider-man (2002) yang dibuat dengan begitu apik oleh Sam Raimi? In my opinion, I love the old one better than this new movie! The reason was so simple, Raimi’s class was beyond Webb. Webb wasn’t a bad one, he just needs more time to be as great as Raimi. Apalagi, Webb hanya melakukan pengulangan dari seri sebelumnya, dengan penambahan dari sisi drama dan humor. Ya, James Vanderbilt yang dibantu Alvin Sargent dan Steve Kloves menggarap story plot The Amazing Spiderman dengan menjadikan kolega Peter sendiri menjadi musuh Spiderman, yaitu ketika The Lizard (Rhys Ifans) seperti layaknya Green Goblin (Willem Dafoe) terpaksa menjadi obyek eksperimen ilmiah dari perusahaan mereka sendiri, Oscorp, yang berakhir dengan hasil diluar dugaan.
Premis cerita dengan formula yang sama realitasnya dihadirkan Vanderbilt dan kawan-kawan dengan cukup menghibur, memberikan ruang kepada audiens untuk menertawakan tingkah laku Peter yang nerd ataupun melalui kisah Peter yang belum terbiasa dengan kekuatan barunya itu. Audiencs juga diajak melihat gejolak masa muda Peter, baik dari sisi percintaan dengan si blonde cantik Gwen Stacy (Emma Stone), kemarahannya paska kehilangan Uncle Ben (Martin Sheen), kasih sayangnya pada Auntie May (Sally Fields) -buying egg’s scene won!- dan tentunya, ketika Peter harus menanggung beban untuk menyelamatkan New Yorkers yang sebagian telah berubah menjadi manusia-manusia kadal. Sayangnya, Vanderbilt tampak setengah hati menjelaskan kisah misteri ayah Peter, si ilmuwan Oscorp yang meninggal dengan misterius. Well, setengah hati karena mungkin jawaban misteri ini  sengaja disiapkan untuk menjadi dasar penceritaan untuk sekuel baru.


Berbicara tentang petualang manusia laba-laba tentunya tak lepas dari sosok aktor yang memerankan superheroes ini. Kembali mengikuti jejak Raimi, untuk The Amazing Spiderman, Webb memilih sosok yang bertampak innocent boyish layaknya Maguire, yaitu Andrew Garfield. Sayangnya, kharisma Garfield toh tidak sekuat Maguire -yang memang sudah memiliki jam terbang akting yang tinggi saat memerankan Spiderman pertama kali-. Memang, Garfield tampil begitu natural ketika menjadi bocah misfits di sekolah, tetapi ketika ia berganti kostum menjadi manusia laba-laba, he still lacked of star charisma. Kekurangan lainnya adalah dari segi lawan, The Lizard juga tampil tak semenyeramkan Green Goblin, kelembutan Ifans saat memerankan Dr. Curt Connors memang bagus tetapi ketika menjadi The Lizard, Webb tak memberinya banyak adegan aksi menawan melainkan membiarkan The Lizard bermain sendirian di gorong-gorong bawah tanah New York, yang membuat The Lizard menjadi villain yang begitu mudah dilupakan. Sedikit tambahan, movietard juga sangat menyayangkan dihilangkannya karakte buddy Peter dalam re-boot ini. Tentu akan lebih menyenangkan rasanya melihat bromance yang tercipta antara Peter dengan new Harry Osborne.
Lucikly, salah satu point fresh dalam The Amazing Spiderman adalah kehadiran heroine, hal yang tidak terjadi pada seri Spider-man versi Raimi. Walaupun seperti layaknya Mary Jane, Gwen Stacy memang di-plot sebagai pacar Peter, tetapi story plot Vanderbilt memberikan ruang yang lebih besar kepada karakter Gwen. Tampil sebagai si murid cerdas yang setingkat diatas Peter, membuat Gwen tampil tak kalah baddas. Ia memukul The Lizard  [spoiler] dan membuat antidot untuk mengembalikan New Yorkers kembali menjadi manusia [end of spoiler]. Menurut movietard, Gwen tak ubahnya sidekick  Spider-man yang berperan penting dalam film ini. Dan menyenangkannya, karakter Gwen dibawakan dengan begitu adorable oleh Stone. Ya, Stone berhasil menyajikan penampilan yang begitu memikat dengan ketangguhan dan ketegarannya mendampingi Peter. Apalagi menurut rumor yang beredar, Stone dan Garfield memang berpacaran in real life, yang membuat chemistry keduanya di layar memang tampak sangat natural.



In conclusion, The Amazing Spiderman berhasil memberikan dimensi baru pada kisah manusia laba-laba ini, terutama dari aspek drama kehidupan personal dan aspek romance berupa relasi Peter dengan Gwen. Yes, the romance plot with Gwen was my favorite!  Tetapi dari segi aksi, Webb tidak memberikan sesuatu yang baru bahkan justru kemunduran mengingat rentetan aksi yang disajikan Raimi jauh lebih memukau dari segi visual efek. Kelincahan Spiderman beraksi di atas menara New York melawan The Lizard memang indah tetapi tidak spektakular. Jadi, walaupun movietard menontonnya dalam versi format 3D, aksi yang tersaji kurang breath-taking. Well, movietard tidak menyalahkan Webb karena ia hanya menerjemahkan story plot yang memang lebih fokus pada sisi drama. Tetapi sayangnya, story plot The Amazing Spiderman memang dibuat Vanderbilt dengan tanggung. Pergulatan batin Peter paska kematian si Paman memang menyentuh, tetapi secara overall this plot wasn’t as intense and a heart wrenching one like what Jonathan Nolan did with Batman series.  Ya,The Amazing Spiderman was good superheroes movie but a master of none, yang pasti, trio Webb-Garfield dan Stone harus bekerja lebih keras lagi untuk sekuel yang akan datang dan hey, choose the great villain, please?
If you could do good things for people, you have a moral obligation to do those things [Uncle Ben]

Do You Know?
Sekuel The Amazing Spiderman  rencananya akan dirilis pada 2 Mei 2012  oleh Sony Pictures. Yes, the power of money talks, no?
Stan Lee kembali muncul menjadi cameo dalam film ini. Ingatkah anda di adegan apa? Ia menjadi librarian di sekolah Peter yang tak aware dengan pertarungan Spiderman dan The Lizard
The Amazing Spiderman jelas menjadi salah satu film blockbuster yang ditunggu, menempati peringkat pertama di lebih dari 30 negara. Di Indonesia, film ini memecahkan rekor untuk pendapatan minggu pertama dengan menghasilkan 4,5 juta dollar

My Rate
3 Stars. The Amazing Spiderman was enough good with Peter’s personal life drama and humor but it lacked some of spectacular actions. This re-boot was just repetition from the original one, and yes, I loved the original Spider-man much than this, maybe because Raimi-Maguire-Defoe and Franco’s factors.

Jumat, 21 September 2012

ATM Errak Error


The Plot
Jib (Preechaya Pongthananikorn) dan Sua (Chantavit Dhanasevi) adalah rekan sekerja yang berpacaran. Hubungan mereka diuji ketika keduanya menghadapi ATM bank yang rusak.

The Comment
ATM Errak Error (2012) sebetulnya sudah lama ‘nangkring’ di bioskop Blitzmegaplex yang memang cukup rajin mendistribusikan film-film produksi Thailand, yaitu kira-kira sejak awal bulan Februari. Tetapi movietard sok sibuk dan baru sempat menontonnya pada akhir Maret lalu. Paska dibuat kurang puas dengan film produksi Thailand lainnya, 30 Fabulous (2012) yang ceritanya yang begitu soap opera formulaic dan membosankan, surprisingly, ATM Errak Error was different, it was a funny romantic comedy! Tak heran karena ATM Errak Error lahir dari rumah produksi yang sebelumnya sudah sukses  mengeluarkan Hello Stranger, Suckseed dan Billionaire. And to told you the truth, ketiga film tersebut memang sukses menghibur movietard. Dan sama dengan para pendahulunya, romantic comedy ini sukses membuat movietard tertawa sampai capek di bioskop!




Story plot ATM Errak Error sebetulnya sederhana saja, mengikuti premis romantic komedi yang klasik. Jib dan Sua adalah pasangan kekasih yang terpaksa backstreet karena dikantor mereka menerapkan larangan menjalin hubungan percintaan dengan rekan sekerja. Ketika hubungan berlanjut serius dengan wacana menikah, permasalahan muncul karena Jib yang posisinya lebih tinggi dibanding Sua tak mau mengalah dengan berhenti kerja. Masalah personal tersebut diperkeruh dengan urusan kantor berupa mesin ATM rusak yang membuatnya mengeluarkan uang penarikan dengan jumlah ganda. Pertaruhan membuat Jib dan Sua bersama-sama menyelidiki  kasus ATM ini, yang membawa mereka bertemu dengan karakter-karakter aneh, seperti muda mudi yang tengah jatuh cinta, supir angkot, bibi pemilik laundry dan laki-laki pemelihara buaya *yes, a real crocodile* dan most of all, membawa perubahan besar pada kelanjutan hubungan Jib dan Sua.

Bukannkah dari cerita diatas, ATM Errak Error terdengar romantis? Faktanya formula rom-com dipelintir sedemikian rupa sehingga setiap scenes yang hadir justru malah sangat komikal. Ya, dilema perjalanan cinta Jib dan Sua tidak diisi dengan kegaulauan penuh dengan air mata, justu malah diisi dengan gesekan dua karakter utama yang begitu konyol dan natural. Jadi jangan harap anda akan melihat good looking couple dengan kehidupan yang sempurna dan good to be true, karena walaupun Preechaya memang adorable dan Chantavit memang super duper ganteng *when he wore a police costume, movietard dan audiens perempuan yang duduk bersebelahan langsung berbisik bersamaan ‘gantengnya’ See? Chantavit memang begitu eyes candy buat audiens perempuan*, tetapi keduanya tidak menjual penampilan uber-cool, justru, keduanya tampil begitu ‘lepas’ dengan melakukan banyak kebodohan-kebodohan yang mengundang tawa. But hey, those stupid acts just make we love them as a couple more, no? 



Nilai plus ATM Errak Error adalah interaksi Jib dan Sua dengan para sidekick characters dalam pencarian uang yang melahirkan banyak adventure yang maksimal noraknya *lebay in our nowadays term*. Tetapi alih-alih membuat movietard jijik in a bad way, movietard justru tertawa lepas menikmati semua pergesekan tersebut, dari mulai kehadiran anak bos annoying yang naksir Jib, kehadiran supir angkot bergigi emas, kepala cabang bank di daerah, hingga pasangan muda-mudi yang suka show their love dengan cara yang maksimal lebaynya *scene membelah dada seolah mengeluarkan hati dengan slow motion kepada pacarnya is a won! It’s definitely the most-lebay-gombal scene at movies history!*. Ya, para karakter sidekick tersebut memang ditampilkan aneh, lengkap dengan dialog-dialog dan tingkah laku yang begitu kocak guna mengundang tawa audiens.

Well, memang sih beberapa sideplot dalam ATM Errak Error memang tak masuk akal seperti bagaimana semua karakter sidekick nyatanya saling kenal dan semuanya berelasi dengan penarikan uang di ATM, tetapi toh audiens tak akan peduli dengan hal tersebut karena sudah terlanjur jatuh cinta dengan huru-hara kocak yang ada didalamnya. Director Mes Tharatorn kelihatan sekali bersenang-senang dalam membuat film ini, menjadikan para pemainnya bertingkah konyol yang cenderung komikal dengan begitu convicing tanpa menjadi slapstick norak. Dengan semua huru-hara komedi yang ada, toh Tharatorn tetap sukses mengeksekusi ending ATM Errak Error dengan baik. Ya, setelah dibuat tertawa selama ¾ durasi film, audiens diajak untuk menyelami kemana hubungan Jib dan Sua berakhir melalui a very sweet (and still, made me laugh!) ending. Movietard diajak tertawa melihat bagaimana kegilaan Jib dan Sua saat keduanya saling menakuti dikantor tetapi juga diajak ikut terenyuh saat pernihakan mereka dibatalkan.


At last, walaupun ATM Errak Error memang memiliki formula standar rom-com hingga pada ending yang semua orang pun sudah tahu. Dalam versi standar ini, ATM Errak Error menghadirkan dua tokoh utama yang good looking, cerita yang simple dan menghibur dibalut dalam gambar yang colorful, yang membuat ATM Errak Error diatas rata-rata dibanding film rom-com Asia sejenis adalah, bagaimana dua main character punya charming yang pas. Ya, Chentavit dan Preechaya lebih dari sekedar punya daya tarik, mereka berdua seolah punya genuine natural charming yang sangat pas. Preechaya layaknya Witherspoon versi Thailand, begitu irresistible, sementara Chantavit layaknya Hugh Grant, tampil bodoh tetapi menawan. Jadi, ketika keduanya bertengkar, yang tersaji adalah perkelahian yang cute. Nilai plus lainnya, as I wrote before, the comedy content won! Pesan movietard hanyalah, lupakan logika anda, just laugh when watched this movies karena film ini memang lucu berat! Anyway, jangan lupa juga ya berharap suatu saat akan menemukan jodoh secakep Chantavit

              “You are the only person in my life, who i don’t mind to losing to [Sua]“

Do You Know?
ATM Errak Error terinspirasi berdasarkan peristiwa nyata di Inggris, dimana sebuah mesin ATM memberikan jumlah uang double atas penarikan yang dilakukan
ATM Errak Error adalah film perdana Preechaya Pongthananikorn yang sebelumnya hanya membintangi iklan-iklan komersial, dan dia langsung mendapat kehormatan sebagai pemeran utama
My Rate
3 stars. ATM Errak Error is a very funny romantic comedy which made me completely laughed so hard. A simply story was delivered by great chemistry of its main characters and all thoses stupid sidekick characters.

Sabtu, 18 Februari 2012

Kisah Inspiratif Film “The Billionaire”

Apa yang ada di benak kalian ketika kalian berumur 19 tahun? Main bersama teman-teman, jalan ke mall, dan menghabiskan waktu sesuka hati, intinya adalah semua hal yang fun. Itu juga yang dilakukan oleh Ittipat seorang anak muda yang berasal dari Thailand.



Film ini mengisahkan tentang seorang pemuda yang awalnya pecandu game online yang keluarganya terlilit hutang sangat banyak berubah menjadi pengusaha rumput laut terkenal di Thailand dan mungkin dipuluhan Negara lainnya. Film ini diangkat dari kisah nyata seseorang yang bernama Top Ittipat yang diperankan oleh Peach Pachara Chirathivat, bagi yang sudah menonton film Thailand berjudul suck seed pasti tahu siapa dia.
Awal cerita dimulai pada saat Top Ittipad masih duduk dibangku SMA pada tahun 2004 dan masih gemar bermain game online dan menghasilkan banyak uang dari game tersebut dari penjualan senjata-senjata digame tersebut. Uang yang didapatkan begitu banyak hingga bisa beli mobil dan hal-hal yang di inginkan seperti Play Station 2, kehidupan top bisa dibilang boros. Karena kegemaran dengan game online dia hingga lupa diri untuk belajar sehingga tidak masuk ke perguruan tinggi negeri sehingga harus masuk universitas swasta. Disisi lain orang tua Top sedangn mengalami masalah finansial dan terlilit hutang sangat banyak namun masih berusaha untuk membiayai biaya Top kuliah tetapi Top menolak. Akhirnya dia bisa kuliah tapi dengan mencuri jimat milik ayahnya dan digadaikan.
Selama perkuliahan Top seperti tidak tertarik dengan kuliah karena dikepalanya hanya terpikirkan bagaimana caranya mencari uang dan menebus jimat milik ayahnya. Suatu ketika Top berjalan-jalan kesebuah pameran dan melihat ada sebuah alat untuk menggoreng kacang kemudian terpikir untuk berjualan kacang. Top lalu menyewa alat tersebut dengan harga 10.000 bath perbulan, disini keberanian Top terlihat. Kemudian dia membuka toko kacang di Mall, disini perjuangan Top dimulai untuk dapat membuat kacang yang enak dia bertanya kepada tukang kacang dijalanan bagaimana caranya membuat kacang yang enak. Namun walaupun dia berhasil membuat kacang yang enak,dagangan tetap tidak laku sehingga membuat Top sedikit frustasi dan mencoba beberapa cara agar tidak laku. Suatu ketika Top berjalan kesebuah pasar tradisional dan mendapatkan beberapa inspirasi seperti memberikan diskon dan lokasi sangat menentukan bisnis.
Kemudian Top bersikeras meminta pindah tempat ke bagian depan Mall dan terlihat bahwa kacang goreng semakin laku keras kemudian ia membuka beberapa cabang, namun usaha tersebut tersendat dikarenakan mesin pembuat kacang goreng tersebut menimbulkan asap dan mengotori atap Mall sehingga harus tutup. Setelah itu dia mendapatkan inspirasi untuk membuat rumput laut goreng dan ia membeli beberapa rumput laut namun basi dalam waktu 1 minggu, ini membuatnya bertanya-tanya dan mendatangi professor dibidang pangan untuk menyelesaikan masalah ini. Profesor tersebut berhasil membantu Top membuat makanan agar tidak mudah basi dengan membuat vakum kemasan dan mengganti dengan nitrogen. Kemudian tantangan berikutnya adalah Top tidak bisa membuat rumput laut yang enak karena setelah digoreng rasanya pahit. Dia dan pamannya menghabisakan lebih dari 100.000 bath (28 juta) untuk uji coba rumput laut tapi gagal, sampai semua rumput lautnya habis. Dan beberapa tahapan lagi agar sampai akhirnya dia mempunyai pabrik rumput laut dan dijual dilebih dari 40 negara, mempunyai perkebunan rumput laut dikorea selatan serta penghasilan 800 juta bath pertahun.



Kini Top telah berusia 26 tahun dan ia telah mengekspor produknya ke 27 negara dan Ia memiliki perkebunan rumput laut sendiri di Korea Selatan. Ia telah membuktikan bahwa seseorang yang mungkin dianggap tidak berharga, namun dengan usaha dan kerja keras, maka suatu saat dapat menjadi lebih berharga dari apa yang orang lain pikirkan.

Kisah Top ini merupakan kisah nyata dan dapat kita lihat di dalam film “The Billionaire” yang sedang tayang di Blitz Megaplex. Adapun values yang terkandung dalam film ini antara lain :
  1. Passion. Disini Top membuktikan bahwa passion yang dapat membawanya kearah kesuksesan. Ketika semua orang menyuruhnya untuk fokus belajar, namun karena passion nya dia ada di dunia game dan berjualan, maka ia tetap melakukan apa yang ia sukai
  2. Pantang menyerah. Entah berapa banyak Top mengalami kegagalan demik kegagalan di dalam film ini, namun sifat keras kepalanya ternyata membuat Ia menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dan selalu mencoba sampai akhirnya meraih impiannya.
  3. Berani. Tidak banyak orang yang memiliki mental seberani Top. Hutang kepada pihak bank untuk memulai usaha, berani mengambil keputusan untuk membeli mesin-mesin yang harganya mahal. Keberanian ini merupakan salah satu kunci terbesar dalam meraih kesuksesan.
  4. Tekun. Dalam film ini sangat terlihat bagaimana ketekunannya dalam membuka usaha. Tidak malu untuk bertanya, melakukan observasi di lapangan, bahkan demi mencapai impiannya Ia rela untuk mengangkat karung, mengecat plafon. Ketekunannya untuk mengejar mimpi sangatlah luar biasa
  5. Percaya pasti bisa! Dibalik semuanya, Top sangatlah percaya bahwa apa yang Ia lakukan ini bukanlah hal yang sia-sia belaka. Ia banyak mengalami kegagalan dan kerugian, namun ia juga berkata bahwa ia percaya suatu saat semuanya akan terlunaskan. Ia tidak peduli dengan nasehat maupun cemoohan dari orang lain, ia tetap fokus dan percaya dengan apa yang ia ingin lakukan. Ternyata itu berhasil!

7 Pelajaran dari Film The Billionaire bagi Pengusaha

Setelah menonton film The Billionaire, saya mencatat ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil untuk menjadikan  diri kita sebagai seorang pengusaha yang sukses.
  1. Think less, do more : Ada sebuah adegan dimana Top memeluk Pamannya dan berkata ” Aku telah mengerahkan semuanya, jika kali ini gagal, aku akan berhenti. Dan aku akan berhenti menjadi orang yang keras kepala ” , dan apa yang dikatakan pamannya ” Tidak apa-apa. Justru jika kamu terlalu banyak berfikir, kamu tidak akan mencapai seperti saat ini
  2. Pengorbanan : Setidaknya ada 3 hal yang dikorbankan oleh Top untuk mencapai kesuksesan, yaitu Sekolah, Cinta, dan Keluarga. Ia harus keluar dari sekolah untuk membantuk pamannya berjualan kacang yang mulai digemari konsumen. Ia harus bertengkar dan akhirnya putus dengan pacarnya setelah pacarnya tidak menyetujui keinginan Top untuk keluar dari sekolah. Dan ia harus berpisah dengan kedua orang tuanya yang pindah ke China untuk menjadikan impiannya menjadi nyata.
  3. Jangan pernah menyerah : Pada film ini , tercatata beberapa kali Top mengalami kegagalan dan penipuan, namun ia tidak menyerah dan terus berusaha. Suatu saat ketika ia berada didalam mobil bersama ayahnya dan baru saja ditipu oleh seseorang, ayahnya berkata ” Berjualan itu tidak semudah bermain game. Welcome to the real world” . Top juga menjual seluruh barang yang dipunyainya untuk menemukan bagaimana cara membuat cemila rumput laut yang enak, bahkan hal ini sempat membuat pamannya masuk rumah sakit.
  4. Partner : Tidak bisa dipungkiri bahwa peran Paman Top sangatlah besar dalam film ini. Ia lah yang membantu Top mulai dari awal ia berjualan kacang hingga Top sukses menjalankan bisnis snack rumput lautnya. Ia selalu sedia untuk melakukan apa yang diinginkan oleh Top. Ia berteriak-teriak didalam Mall untuk menjajakan kacang yang dijual Top, ia mencoba berkardus-kardus rumput laut untuk menemukan rsep membuat snack rumput laut hingga ia jatuh pingsan dan masuk rumah sakit, ia menjadi tempat Top berkeluh kesah saat percintannya gagal, ia menjadi seseorang yang sangat berharga bagi Top. Dan saya yakin, tanpa Pamannya, Top tidak akan menjadi seperti yang saat ini.
  5. Belajar dan belajar : Pada film ini ada beberapa adegan dimana Top bertanya kepada orang lain mengenai barang yang akan dijualnya. Selain itu ia juga mencatat berbagai macam hal yang ia pikir bisa menunjang usahanya. Top memang lebih suka mempelajari sesuatu yang langsung bisa dipraktekkan dibandingkan mendengarkan teori yang disampaikan dosen didalam kelas.
  6. Kolaborasi : Salah satu kunci sukses Top adalah keberhasilannya meminta masukan dari seorang profesor di sebuah Universitas di Thailand untuk mengatasi snack yang mudah kadaluarsa. Dari profesor itulah Top mengetahui bahwa oksigen lah yang membuat snack nya kadaluarsa, sehingga oksigen harus dibuang dan diganti dengan nitrogen untuk memperpanjang daya tahan snack yang dibuatnya. Dari hal ini maka kita bisa mengetahui bahwa kolaborasi antara Pengusaha dan Universitas itu sangat penting, karena Universitas bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dimiliki oleh pengusaha, tentu saja karena mereka yang menguasai keilmuan.
  7. Jujur : Film ini juga mengajarkan sebuah nilai kejujuran. Ada sebuah adegan dimana Top mencoba untuk menyuap seorang penjaga mall, dan penjaga mall itu berkata pada Ibu Top yang berada di samping Top ” Anda Ibunya kan ? Tolong disiplinkan anak anda ” . Dan Top belajar dari hal ini, pada sebuah adegan  di akhir cerita, paman Top memberi Top seamplop uang untuk menyuap 2 orang yang melakukan penilaian terhadap kelayakan pabrik milik Top, namun Top tidak melakukannya dan berkata “ Aku tidak mau ada orang lain lagi yang menyalahkan orang tuaku